SEJARAH SINGKAT JENDERAL SUDIRMAN
Jenderal Besar TNI Anumerta Soedirman adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang berjuang pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Dalam sejarah perjuangan Republik Indonesia, ia dicatat sebagai Panglima dan Jenderal RI
yang pertama dan termuda. Saat usia Soedirman 31 tahun ia telah menjadi
seorang jenderal. Meski menderita sakit tuberkulosis paru-paru yang
parah, ia tetap bergerilya dalam perang pembelaan kemerdekaan RI. Pada
tahun 1950 ia wafat karena penyakit tuberkulosis tersebut dan dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta.
Riwayat Hidup
Soedirman lahir di Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa
Tengah, 24 Januari 1916 – meninggal di Magelang, Jawa Tengah, 29
Januari 1950 pada umur 34 tahun. Soedirman dibesarkan dalam lingkungan
keluarga sederhana. Ayahnya, Karsid Kartowirodji, adalah seorang pekerja
di Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas, dan ibunya, Siyem, adalan keturunan
Wedana Rembang. Soedirman sejak umur 8 bulan diangkat sebagai anak oleh
R. Tjokrosoenaryo, seorang asisten Wedana Rembang yang masih merupakan
saudara dari Siyem.
Pendidikan
Soedirman memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Surakarta
tapi tidak sampai tamat. Soedirman saat itu juga giat di organisasi
Pramuka Hizbul Wathan. Setelah itu ia menjadi guru di sekolah HIS
Muhammadiyah di Cilacap.
Karir militer
- Ketika jaman pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor di bawah pelatihan tentara Jepang.
- Setelah menyelesaikan pendidikan di PETA, ia menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah. Kemudian ia menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TKR).
- Soedirman dikenal oleh orang-orang di sekitarnya dengan pribadinya yang teguh pada prinsip dan keyakinan, dimana ia selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya, bahkan kesehatannya sendiri. Pribadinya tersebut ditulis dalam sebuah buku oleh Tjokropranolo, pengawal pribadinya semasa gerilya, sebagai seorang yang selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara.
- Pada masa pendudukan Jepang ini, Soedirman pernah menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Karesidenan Banyumas. Dalam saat ini ia mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan.
Paska kemerdekaan Indonesia
Setelah
berakhirnya Perang Dunia II, pasukan Jepang menyerah tanpa syarat
kepada Pasukan Sekutu dan Soekarno mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia.
Soedirman mendapat prestasi pertamanya sebagai tentara setelah
keberhasilannya merebut senjata pasukan Jepang dalam pertempuran di
Banyumas, Jawa Tengah. Soedirman mengorganisir batalyon PETA-nya menjadi
sebuah resimen yang bermarkas di Banyumas, untuk menjadi pasukan perang
Republik Indonesia yang selanjutnya berperan besar dalam perang Revolusi Nasional Indonesia.
Sesudah
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi
Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui
Konferensi TKR tanggal 12 November 1945, Soedirman terpilih menjadi
Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan Perang RI. Selanjutnya dia mulai
menderita penyakit tuberkulosis, walaupun begitu selanjutnya dia tetap
terjun langsung dalam beberapa kampanye perang gerilya melawan pasukan
NICA Belanda.
Peran dalam Revolusi Nasional Indonesia
Menangnya
Pasukan Sekutu atas Jepang dalam Perang Dunia II membawa pasukan
Belanda untuk datang kembali ke kepulauan Hindia Belanda (Republik Indonesia
sekarang), bekas jajahan mereka yang telah menyatakan untuk merdeka.
Setelah menyerahnya pasukan Jepang, Pasukan Sekutu datang ke Indonesia
dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang. Ternyata pasukan sekutu
datang bersama dengan tentara NICA dari Belanda yang hendak mengambil
kembali Indonesia sebagai koloninya. Mengetahui hal tersebut, TKR pun terlibat dalam banyak pertempuran dengan tentara sekutu.
Perang
besar pertama yang dipimpin Soedirman adalah perang Palagan Ambarawa
melawan pasukan Inggris dan NICA Belanda yang berlangsung dari bulan
November sampai Desember 1945. [3] Pada Desember 1945, pasukan TKR yang
dipimpin oleh Soedirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di
Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember 1945, Soedirman melancarkan
serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris di Ambarawa.
Pertempuran terkenal yang berlangsung selama lima hari tersebut diakhiri dengan mundurnya pasukan Inggris ke Semarang. Perang tersebut berakhir tanggal 16 Desember 1945.
Setelah
kemenangan Soedirman dalam Palagan Ambarawa, pada tanggal 18 Desember
1945 dia dilantik sebagai Jenderal oleh Presiden Soekarno. Soedirman
memperoleh pangkat Jenderal tersebut tidak melalui sistem Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya, tapi karena prestasinya.
Peran dalam Agresi Militer II Belanda
Saat terjadinya Agresi Militer II Belanda, Ibukota Republik Indonesia dipindahkan di Yogyakarta, karena Jakarta sudah diduduki oleh tentara Belanda. Soedirman memimpin pasukannya untuk membela Yogyakarta
dari serangan Belanda II tanggal 19 Desember 1948 tersebut. Dalam
perlawanan tersebut, Soedirman sudah dalam keadaan sangat lemah karena
penyakit tuberkulosis yang dideritanya sejak lama. Walaupun begitu dia
ikut terjun ke medan
perang bersama pasukannya dalam keadaan ditandu, memimpin para
tentaranya untuk tetap melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda
secara gerilya.
Penyakit yang diderita Soedirman saat berada di Yogyakarta
semakin parah. Paru-parunya yang berfungsi hanya tinggal satu karena
penyakitnya. Yogyakarta pun kemudian dikuasai Belanda, walaupun sempat
dikuasai oleh tentara Indonesia
setelah Serangan Umum 1 Maret 1949. Saat itu, Presiden Soekarno dan
Mohammad Hatta dan beberapa anggota kabinet juga ditangkap oleh tentara
Belanda. Karena situasi genting tersebut, Soedirman dengan ditandu
berangkat bersama pasukannya dan kembali melakukan perang gerilya. Ia
berpindah-pindah selama tujuh bulan dari hutan satu ke hutan lain, dan
dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah dan dalam kondisi
hampir tanpa pengobatan dan perawatan medis. Walaupun masih ingin
memimpin perlawanan tersebut, akhirnya Soedirman pulang dari kampanye
gerilya tersebut karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkannya
untuk memimpin Angkatan Perang secara langsung. Setelah itu Soedirman
hanya menjadi tokoh perencana di balik layar dalam kampanye gerilya
melawan Belanda.
Setelah
Belanda menyerahkan kepulauan nusantara sebagai Republik Indonesia
Serikat dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag, Jenderal
Soedirman kembali ke Jakarta bersama Presiden Soekarno, dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Ketokohan Soedirman
Jenderal
Sudirman merupakan salah satu tokoh besar di antara sedikit orang
lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu revolusi. Saat usianya masih
31 tahun ia sudah menjadi seorang jenderal. Meski menderita sakit
paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda. Ia
berlatarbelakang seorang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan giat di
kepanduan Hizbul Wathan.
Ketika
pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor
yang begitu tamat pendidikan, langsung menjadi Komandan Batalyon di
Kroya. Menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan
akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia
(Panglima TNI). Ia merupakan Pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak
perduli pada keadaan dirinya sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal pertama dan termuda Republik ini.
Sudirman
merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini.
Pribadinya teguh pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan
kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya.
Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air,
bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II
Belanda. Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit tetap bertekad ikut
terjun bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam keadaan sakit, ia
memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan
perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan
merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri
ini.
Sudirman
yang dilahirkan di Bodas Karangjati, Purbalingga, 24 Januari 1916, ini
memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah
yang terkenal berjiwa nasional yang tinggi. Kemudian ia melanjut ke HIK
(sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tapi tidak sampai tamat. Sudirman muda
yang terkenal disiplin dan giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan ini
kemudian menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap.
Kedisiplinan, jiwa pendidik dan kepanduan itulah kemudian bekal
pribadinya hingga bisa menjadi pemimpin tertinggi Angkatan Perang.
Sementara
pendidikan militer diawalinya dengan mengikuti pendidikan tentara
Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Setelah selesai pendidikan, ia
diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Ketika itu, pria yang
memiliki sikap tegas ini sering memprotes tindakan tentara Jepang yang
berbuat sewenang-wenang dan bertindak kasar terhadap anak buahnya.
Karena sikap tegasnya itu, suatu kali dirinya hampir saja dibunuh oleh
tentara Jepang.
Setelah Indonesia
merdeka, dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang, ia berhasil
merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah jasa pertamanya
sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia.
Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat
menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui
Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima
Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia.
Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal diberikan
padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh pangkat Jenderal
tidak melalui Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana
lazimnya, tapi karena prestasinya.
Ketika pasukan sekutu datang ke Indonesia
dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang, ternyata tentara Belanda
ikut dibonceng. Karenanya, TKR akhirnya terlibat pertempuran dengan
tentara sekutu. Demikianlah pada Desember 1945, pasukan TKR yang
dipimpin oleh Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di
Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkanlah
serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran yang
berkobar selama lima hari itu akhirnya memaksa pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.
Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang berfungsi.
Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta
pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta
beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat keadaan itu,
walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap
tinggal dalam kota
untuk melakukan perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya
karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta
mengingat akan tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara.
Maka
dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang
gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan
yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit
dan lemah sekali sementara obat juga hampir-hampir tidak ada. Tapi
kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dia
sendiri tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari
medan gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu dibutuhkan.
Sudirman
yang pada masa pendudukan Jepang menjadi anggota Badan Pengurus Makanan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas, ini
pernah mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan.
Jenderal yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi, ini akhirnya harus
meninggal pada usia yang masih relatif muda, 34 tahun.
Kematian
Pada
tangal 29 Januari 1950, Jenderal Soedirman meninggal dunia di Magelang,
Jawa Tengah karena sakit tuberkulosis parah yang dideritanya. Ia
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta.
Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan. Pada tahun 1997 dia
mendapat gelar sebagai Jenderal Besar Anumerta dengan bintang lima, pangkat yang hanya dimiliki oleh beberapa jenderal di RI sampai sekarang.
Warisan budaya
- Patung dan monumen Jenderal Soedirman didirikan di banyak kota di Indonesia, seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya.
- Banyak kota besar di Indonesia mempunyai jalan raya yang dinamakan “Jalan Jenderal Sudirman”.
- Monumen Jenderal Soedirman di Surabaya
- Sebuah perguruan tinggi negeri di Purwokerto, Jawa Tengah diberi nama Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed)
Patung Jenderal Soedirman di Jakarta
Sebuah
patung megah patung Jenderal Sudirman mewarnai Ibu Kota Jakarta. Patung
berukuran 12 meter itu terdiri atas, tinggi patung 6,5 meter dan
voetstuk atau penyangga 5,5 meter, terletak di kawasan Dukuh Atas,
tepatnya depan Gedung BNI, di tengah ruas jalan yang membelah Jalan
Sudirman dan berbatasan dengan Jalan Thamrin. Patung ini terbuat dari
perunggu seberat 4 ton dengan anggaran sebesar Rp 3,5 miliar dan
dikerjakan oleh seniman sekaligus dosen seni rupa Institut Teknologi
Bandung, Sunario.
Sosok
Jenderal Sudirman digambarkan berdiri kokoh menghormat dan kepala
sedikit mendongak ke atas untuk memberi kesan dinamis. Karena berdiri di
tengah kawasan yang penuh dengan beragam aktivitas, patung sengaja
didesain sederhana dan tidak memerlukan banyak rincian.
Biaya
pembangunan patung yang menelan dana Rp 6,6 miliar berasal dari
pengusaha, bukan dari APBD DKI. Sebagai kompensasinya pengusaha mendapat
dua titik reklame di lokasi strategis, Dukuh Atas. Sementara yang
menentukan penyandang dana diserahkan kepada keluarga Sudirman.
Pengusaha yang telah ditunjuk mendanai pembangunan patung, yakni PT.
Patriamega. Sebagai kompensasinya, PT. Patriamega memperoleh dua titik
reklame di lahan strategis di Dukuh Atas, yakni di titik A dan 6B. Bagi
kalangan penyelenggara reklame, titik tersebut adalah sangat strategis
dan nilai jualnya paling mahal
Di
Bodas Karangjati lah Sudirman dilahirkan, tepatnya di kabupaten
Purbalingga tanggal 24 Januari 1916. Pendidikan terakhirnya adalah
Sekolah Guru Muhammadiyah di Solo, tapi tidak sampai tamat. Kemudian
ia menjadi guru di Muhammadiyah Cilacap. Semasa mudanya Sudirman aktif
dalam organisasi pramuka dan terkenal sangat disiplin.
Dimasa pendudukan Jepang, Sudirman sangat memperhatikan masalah sosial. Lalu ia mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Dan ia juga menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Keresidenan Banyumas. Pada masa itu pula Sudirman mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Kemudian ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Jasa pertama Sudirman setelah kemerdekaan ialah merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia diangkat menjadi Panglima Divisi V / Banyumas dengan pangkat kolonel. Bulan Desember 1945 ia memimpin pasukan TKR dalam pertempuran melawan Inggris di Ambarawa. Tanggal 12 Desember dilancarkan serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Akhirnya pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang. Dalam Konferensi TKR tanggal 12 Nopember 1945 Sudirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR. Lalu tanggal 18 Desember 1945 ia dilantik oleh Presiden dengan pangkat Jenderal. Sejak itu TKR tumbuh menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sewaktu Belanda melancarkan Agresi Militer II, Jendral Sudirman sedang sakit, tetapi ia menolak saran Presiden untuk tetap tinggal didalam kota. Kurang lebih tujuh bulan ia mempimpim perang gerilya di hutan-hutan dan gunung-gunung. Banyak penderitaan yang dialaminya terutama penyakitnya sering kambuh dan tidak tersedianya obat-obatan. Pulang dari medan gerilya, karena masih sakit, ia tidak dapat memimpin Angkatan Perang secara langsung, tetapi buah pemikirannya selalu dibutuhkan oleh Pemerintah. Pengalima Besar Jenderal Sudirman meninggal dunia di Magelang pada tanggal 29 Januari 1950 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Pembelengguan Sebuah Fakta Sejarah
Judul: Tingkah Laku Politik Panglima Besar SoedirmanPenulis:Dr Abdul Haris Nasution, Dr H Roeslan Abdulgani, Prof SI Poeradisastra, Sides Sudyarto DS (editor) Kompas, 13 Maret 2003. SOEDIRMAN, salah seorang pahlawan nasional dan simbol Tentara Nasional Indonesia (TNI) bukanlah nama yang asing di telinga. Ia mendapat tempat istimewa dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia karena menjabat panglima angkatan bersenjata pada awal berdirinya republik ini. Namun, pengetahuan tentang Soedirman yang diberikan bangku sekolah tidak pernah cukup mendalam. Sementara ketersediaan literatur yang membahas Soedirman secara khusus jumlahnya tidak memadai. Dalam kurun waktu 25 tahun pertama pascakemerdekaan, tercatat hanya ada satu buku saja yang menempatkan Soedirman sebagai pokok bahasan, yaitu "Djenderal Soedirman Pahlawan Kemerdekaan" (1963) yang ditulis Solichin Salam. Selebihnya pembahasan tentang Soedirman selalu hanya merupakan pelengkap bagi kerangka bahasan lain seperti tentang gerakan Pemuda Muhammadiyah, kepanduan Hizbul Wathan, perang revolusi kemerdekaan, tentara, politik militer, hingga tentang Tan Malaka. Baru sekitar tahun 1980-an mulai bermunculan buku yang membahas Soedirman secara lebih spesifik, seperti "Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman" karya SA Soekanto (1981), "Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia, Kisah Seorang Pengawal" (1992) yang ditulis Tjokropranolo, mantan Gubernur DKI Tahun 1977-1982, atau "Panglima Besar Jenderal Sudirman Kader Muhammadiyah" (2000) karya Sardiman AM. Meskipun cukup banyak kuantitasnya, namun sebagian besar buku yang hadir tersebut cenderung mengaitkan tokoh ini dengan dunia ketentaraan dan lebih berupa memoar atau biografi Soedirman sebagai seorang tokoh. Sedikit saja buku seperti "Genesis of Power General Sudirman and the Indonesian Military in Politics 1945-49" (1992) yang ditulis Salim Said, yang mengupas sikap dan pandangan politik Soedirman secara lebih mendalam, baik menyangkut penentangan Soedirman terhadap langkah politik pemerintah yang menjalin kerja sama dengan Belanda, tentang langkah-langkah politis yang diambil Soedirman dalam rangka mengedepankan sikap politiknya, dan keterkaitan Soedirman dengan Peristiwa 3 Juli 1946. Umumnya jika sampai pada pembahasan tentang hal tersebut, penulis-penulis cenderung "melindungi" keterlibatan Soedirman dalam peristiwa yang diyakini sebagai upaya coup d' ètat dan "membersihkan" kecenderungan ideologi kiri Soedirman dengan berbagai alasan. Fakta sejarah tersebut memang rawan dibicarakan ketika rezim yang berkuasa bersandar pada kekuatan militer yang mengangkat Soedirman sebagai panglima besarnya. Tak ayal lagi, ketika buku yang menganalisis Peristiwa 3 Juli 1946 terbit, pemerintah Orde Baru langsung membelenggu peredarannya lewat daftar cekal Kejaksaan Agung (Kejagung). "Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman", buku yang mengangkat Peristiwa 3 Juli 1946 sebagai fokus bahasan, memaparkan pergolakan internal para elite politik Indonesia pada awal kemerdekaan dengan titik berat telaah pada pandangan dan sikap politik yang diambil Soedirman selaku panglima besar dalam menanggapi berbagai situasi politik yang berkembang saat itu. Panglima Besar Soedirman" merupakan kumpulan beberapa tulisan, di antaranya tulisan dua pelaku sejarah bangsa ini yaitu Abdul Haris Nasution dari kalangan militer dan Roeslan Abdulgani yang mewakili unsur sipil yang turut berjuang dalam perang kemerdekaan. Selain itu, termaktub pula analisis terhadap Peristiwa 3 Juli 1946 dari SI Poeradisastra, sejarawan dan Guru Besar UI, dan rangkuman dari Sides Sudyarto DS, pemenang sayembara puisi Prasasti Ancol tahun 1977 dan mantan wartawan yang pernah bergabung di Kompas tahun 1974-1981. Buku yang pertama kali dicetak sebanyak 5.000 eksemplar dan diluncurkan sekitar awal tahun 1984, ini tamat riwayat peredarannya di masyarakat kurang lebih enam bulan kemudian, tepatnya tanggal 28 Agustus 1984, setelah diharamkan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) lewat fatwa No 167/JA/8/1984. Menurut Sides, editor buku itu yang sempat diinterogasi Kejagung sebanyak sembilan kali, tidak ada alasan formal yang menjadi landasan pencekalan buku yang bermuatan fakta sejarah tersebut. Dalam "Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman", Nasution menuangkan pengalaman pribadi sebagai prajurit di lapangan yang langsung menerima perintah Soedirman. Sebagai seorang bawahan, ia lebih banyak menyoroti kepemimpinan Soedirman sebagai panglima besar dalam menyikapi berbagai kondisi politik bangsa dan menghindari pembahasan tentang Peristiwa 3 Juli 1946. Meskipun begitu, ia mengakui bahwa dirinya berseberangan pendapat dengan Soedirman dalam persoalan "Reorganisasi-Rasionalisasi" (Re-Ra) tentara yang merupakan imbas dari Perjanjian Renville tahun 1948. Dalam mengulas Soedirman, Abdulgani menempatkan panglima besar tersebut dalam konteks pertikaian ideologi yang mendominasi kala itu. Meskipun dalam Peristiwa 3 Juli 1946 di Yogyakarta Soedirman dituduh membantu upaya coup d' ètat terhadap duet Soekarno-Hatta, dengan membebaskan orang-orang dari kelompok Marxisme-Leninisme independen (Tan Malaka) yang ditahan di Penjara Wirogunan, namun menurut Abdulgani tekad untuk mempertahankan kemerdekaan dan loyalitas terhadap negara tetap dipegang teguh Soedirman yang secara historis masuk dalam kelompok Islamisme, namun bukan aliran yang fanatik dan intoleran. Walaupun sempat berseberangan pandangan politik dengan pemerintah yang saat itu dikuasai kelompok Marxisme-Liberalisme moderat (Amir Sjarifuddin dan Sjahrir), Soedirman tidak memanfaatkan posisi panglima besar yang strategis untuk menggulingkan pemerintah resmi Soekarno-Hatta. Poeradisastra sebagai seorang sejarawan berupaya obyektif dalam melihat fakta Peristiwa 3 Juli 1946. Analisis terhadap rangkaian kejadian, proses sidang di Mahkamah Agung, kesaksian Soedirman, serta pernyataan dan pembelaan dari para pelaku yang terlibat dalam peristiwa itu, seperti Iwa Koesoema Soemantri, Ahmad Soebardjo, dan M Yamin dari kubu Persatuan Perjuangan yang berafiliasi pada Tan Malaka, melahirkan satu kesimpulan bahwa telah terjadi tawar-menawar antara Soedirman dengan para anggota Kabinet Sjahrir yang secara coute que coute membentuk pra-anggapan peristiwa tersebut sebagai suatu coup d' ètat. Meskipun Poeradisastra tidak mengingkari keterlibatan Soedirman dalam Peristiwa 3 Juli 1946, namun ia yakin Soedirman melakukan negosiasi tersebut untuk menyelamatkan keutuhan komando tentara saat itu. Sejarah membuktikan, Soedirman tetap menjaga manunggalnya tentara dengan pemerintah. Ia mengorbankan hati nuraninya yang tidak setuju dengan keputusan pemerintah untuk berkompromi dengan Belanda demi persatuan negara dan membayar beban psikologisnya dengan kesehatan yang kian hari semakin memburuk. Upaya meminta Soekarno mengubah susunan Kabinet Sjahrir dan menerima minimum program Persatuan Perjuangan 7 pasal yang dikenal dengan Peristiwa 3 Juli 1946, memang tidak dibahas secara mendalam dalam wacana sejarah Indonesia selama ini. Padahal, peristiwa tersebut jelas melibatkan Soedirman yang disinyalir mendukung Persatuan Perjuangan yang berada di bawah komando Tan Malaka. Kedekatan dan kesamaan visi Soedirman dengan Tan Malaka yang oleh Orde Baru dituding sebagai komunis mengindikasikan ideologi yang dianut Soedirman.Hal inilah yang coba ditutupi rezim Orde Baru yang berdiri di atas kekuatan militer. Bagaimana publik akan bereaksi jika menyadari fakta bahwa Panglima Besar TNI adalah seorang sosialis! (Nurul Fatchiati) | |
|
|
Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya, tapi karena prestasinya.
Pada awal tahun 1946 ketika pihak oposisi pemerintah Republik Indonesia,
dalam hal ini Persatuan Perjuangan (PP), semakin menampakkan
kekuatannya di bidang politik, mereka berhasil meraih simpati dari
Panglima Soedirman. Ia bersimpati dengan PP karena sifat perjuangannya
yang tanpa kompromi terhadap pasukan sekutu, sembari itu dia
mengatakan Asalkan ada persatuan, seperti dalam Persatuan Perjuangan
(PP), perjuangan itu akan menang; tentara akan hidup dan mati bersama
rakyat (Antara, 19 Februari 1946).
dalam hal ini Persatuan Perjuangan (PP), semakin menampakkan
kekuatannya di bidang politik, mereka berhasil meraih simpati dari
Panglima Soedirman. Ia bersimpati dengan PP karena sifat perjuangannya
yang tanpa kompromi terhadap pasukan sekutu, sembari itu dia
mengatakan Asalkan ada persatuan, seperti dalam Persatuan Perjuangan
(PP), perjuangan itu akan menang; tentara akan hidup dan mati bersama
rakyat (Antara, 19 Februari 1946).
Tanggal 25 Februari 1946 dalam suatu kongres umum Laskar Rakyat yang
dihadiri oleh Tan Malaka dan sekretariat PP, sekali lagi Panglima Soedirman
mengatakan, Mari, marilah, seluruh barisan, badan -badan berjuang
sungguh-sungguh dan jangan membiarkan rakyat menjadi korban .
Pada saat itu juga keluarlah kata-kata Panglima Soedirman yang sangat
terkenal hingga saat ini, Lebih baik di-bom atom daripada tidak merdeka
100% !
dihadiri oleh Tan Malaka dan sekretariat PP, sekali lagi Panglima Soedirman
mengatakan, Mari, marilah, seluruh barisan, badan -badan berjuang
sungguh-sungguh dan jangan membiarkan rakyat menjadi korban .
Pada saat itu juga keluarlah kata-kata Panglima Soedirman yang sangat
terkenal hingga saat ini, Lebih baik di-bom atom daripada tidak merdeka
100% !
Namun demikian keterlibatan Soedirman dalam PP, tidak digubris oleh
Soekarno, karena Soekarno mengetahui bahwa Jenderal Soedirman
merupakan bobot-imbang bagi kekuatan-kekuatan politik yang ada pada
waktu itu. Dan sebaliknya, kekuatan politik pun tidak memiliki intervensi
yang kuat terhadap pahlawan perang Ambarawa tersebut (Ulf
Sundhaussen, 1986).
Soekarno, karena Soekarno mengetahui bahwa Jenderal Soedirman
merupakan bobot-imbang bagi kekuatan-kekuatan politik yang ada pada
waktu itu. Dan sebaliknya, kekuatan politik pun tidak memiliki intervensi
yang kuat terhadap pahlawan perang Ambarawa tersebut (Ulf
Sundhaussen, 1986).
Pada tanggal 26 Juni 1946, Soekarno mengangkat Soedirman sebagai
Panglima Besar Angkatan Perang. Promosi ini menempatkan angkatan
udara dan angkatan laut di bawah komando taktis Soedirman. Kedudukan
Soedirman diperkuat lagi ketika Presiden pada tanggal 5 Mei 1947
mendekritkan peleburan TRI dan organisasi kelasykaran menjadi Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dengan Soedirman sebagai Panglima Besarnya.
Panglima Besar Angkatan Perang. Promosi ini menempatkan angkatan
udara dan angkatan laut di bawah komando taktis Soedirman. Kedudukan
Soedirman diperkuat lagi ketika Presiden pada tanggal 5 Mei 1947
mendekritkan peleburan TRI dan organisasi kelasykaran menjadi Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dengan Soedirman sebagai Panglima Besarnya.
Tugas berat berikutnya yang dihadapi oleh PB Soedirman adalah agresi
militer Belanda pada tanggal 21 Juli 1947. Menghadapi kurang lebih
125.000 pasukan Belanda yang menyerang wilayah Rep ublik tak membuat
gentar jiwa PB Soedirman. Ia memerintahkan seluruh Tentara Nasional
Indonesia (TNI) untuk bertempur khususnya di kantong-kantong gerilya.
Meski kalah dalam persenjataan, semangat juang TNI dan laskar -laskar
rakyat tidaklah padam, walau dengan menggunakan taktik gerilya dan
militer Belanda pada tanggal 21 Juli 1947. Menghadapi kurang lebih
125.000 pasukan Belanda yang menyerang wilayah Rep ublik tak membuat
gentar jiwa PB Soedirman. Ia memerintahkan seluruh Tentara Nasional
Indonesia (TNI) untuk bertempur khususnya di kantong-kantong gerilya.
Meski kalah dalam persenjataan, semangat juang TNI dan laskar -laskar
rakyat tidaklah padam, walau dengan menggunakan taktik gerilya dan
taktik perang semesta semangat merdeka atau mati tertanam erat
seluruh lapisan tentara maupun masyarakat.
Demikian pula ketika menghadapi agresi militer Belanda yang kedua, 18
Desember 1948. Meski masih dalam kondisi sedang menderita sakit parah,
semangat juang Soedirman merupakan teladan yang sangat terpuji.
Sebagai seorang Panglima Besar merangkap Kepala Staf Angkatan Perang,
Soedirman merasa memikul tanggung jawab paling besar jika terjadi
konflik dengan Belanda. Ia tidak pernah lupa akan janjinya dulu ketika
dilantik sebagai Panglima Besar,
Desember 1948. Meski masih dalam kondisi sedang menderita sakit parah,
semangat juang Soedirman merupakan teladan yang sangat terpuji.
Sebagai seorang Panglima Besar merangkap Kepala Staf Angkatan Perang,
Soedirman merasa memikul tanggung jawab paling besar jika terjadi
konflik dengan Belanda. Ia tidak pernah lupa akan janjinya dulu ketika
dilantik sebagai Panglima Besar,
sanggup mempertahankan kemerdekaan berikut kedaulatan Negara
Republik Indonesia yang diproklamasikan telah diproklamasikan tanggal 17
Agustus 1945 sampai tetes darah penghabi san
Republik Indonesia yang diproklamasikan telah diproklamasikan tanggal 17
Agustus 1945 sampai tetes darah penghabi san
Pada hari Minggu-nya, 19 Desember 1948, Soedirman mengeluarkan
Instruksi Siasat No.1 yang berisi,
TNI tidak akan melakukan pertahanan linier. Perlambat serbuan musuh
dengan melakukan pengungsian secara total, dilengkapi aksi bumi hangus
terhadap semua obyek strategis. Ditambah perintah untuk membentuk
kantong perlawanan gerilya (wehrkreise) secara totaliter berikut perintah
terakhir, melakukan aksi wingate (menyusup kembali ke daerah asal) agar
menjadikan seluruh Pulau Jawa sebagai medan pertempuran
dengan melakukan pengungsian secara total, dilengkapi aksi bumi hangus
terhadap semua obyek strategis. Ditambah perintah untuk membentuk
kantong perlawanan gerilya (wehrkreise) secara totaliter berikut perintah
terakhir, melakukan aksi wingate (menyusup kembali ke daerah asal) agar
menjadikan seluruh Pulau Jawa sebagai medan pertempuran
Segera setelah itu beliau menuju ke Istana Kepresidenan di untuk
mendiskusikan aksi agresi militer Belanda tersebut dengan Bung Karno.
Diputuskan bahwa Bung Karno tetap di Jogja dengan menerima apapun
konsekuensinya sedangkan PB Soedirman meneruskan p erjuangan secara
gerilya. Sebelum mundur ke daerah gerilya Soekarno berpesan kepadanya,
Dirman, inilah pesanku kepadamu. Sebagai seorang prajurit, sebagai
seorang Jenderal, sebagai seorang Panglima TNI, jangan menyerah.
Besarkan jiwamu, tebalkan semangatmu dan hidupkan kesetiaanmu
kepada Negara, Tanah Air dan Bangsa Indonesia
mendiskusikan aksi agresi militer Belanda tersebut dengan Bung Karno.
Diputuskan bahwa Bung Karno tetap di Jogja dengan menerima apapun
konsekuensinya sedangkan PB Soedirman meneruskan p erjuangan secara
gerilya. Sebelum mundur ke daerah gerilya Soekarno berpesan kepadanya,
Dirman, inilah pesanku kepadamu. Sebagai seorang prajurit, sebagai
seorang Jenderal, sebagai seorang Panglima TNI, jangan menyerah.
Besarkan jiwamu, tebalkan semangatmu dan hidupkan kesetiaanmu
kepada Negara, Tanah Air dan Bangsa Indonesia
PB Soedirman pun mengatakan pesan pribadinya kepada Bung Karno, saya akan peringatkan Belanda, kalau mereka menyakiti Soekarno, maka bagi mereka tidak akan pernah ada kata ampun
Meski tak pernah menyetujui garis politik diplomasi yang dilakukan oleh
Bung Karno dan pejuang politik lainnya akibat agresi militer Belanda kedua,
PB Soedirman berjiwa besar. Setelah dijemput oleh Letnan Kolonel
Soeharto dari basis daerah gerilyanya di desa Gadjahan, kecamatan
Pondjong, kabupaten Gunung Kidul, tanggal 10 Juli 1949, PB Soedirman
kembali ke Yogyakarta. Ia disambut dengan penuh suka cita dan keharuan
oleh masyarakat Yogya,
PB Soedirman berjiwa besar. Setelah dijemput oleh Letnan Kolonel
Soeharto dari basis daerah gerilyanya di desa Gadjahan, kecamatan
Pondjong, kabupaten Gunung Kidul, tanggal 10 Juli 1949, PB Soedirman
kembali ke Yogyakarta. Ia disambut dengan penuh suka cita dan keharuan
oleh masyarakat Yogya,
Para prajurit yang mengikuti parade di alun-alun untuk menghormati
Soedirman, banyak yang meneteskan air mata. Mereka terharu melihat
Panglima Besar dengan sosok tubuh kurus kering dibalut mantel, berjalan
perlahan-lahan dengan sikap gagah dan sorot mata tajam, memberikan
salam militer kepada seluruh anak buahnya . Setelah itu Soedirman
menemui Bung Karno dan Bung Hatta di istana kepresidenan.
Soedirman, banyak yang meneteskan air mata. Mereka terharu melihat
Panglima Besar dengan sosok tubuh kurus kering dibalut mantel, berjalan
perlahan-lahan dengan sikap gagah dan sorot mata tajam, memberikan
salam militer kepada seluruh anak buahnya . Setelah itu Soedirman
menemui Bung Karno dan Bung Hatta di istana kepresidenan.
Pada tangal 29 Januari 1950, Jenderal Soedirman meninggal dunia di
Magelang, Jawa Tengah karena sakit tuberkulosis parah yang dideritanya.
Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawa n Kusuma Negara di Semaki,
Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan Pada
tahun 1997 dia mendapat gelar sebagai Jenderal Besar Anumerta dengan
bintang lima, pangkat yang hanya dimiliki oleh beberapa jenderal di RI
Magelang, Jawa Tengah karena sakit tuberkulosis parah yang dideritanya.
Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawa n Kusuma Negara di Semaki,
Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan Pada
tahun 1997 dia mendapat gelar sebagai Jenderal Besar Anumerta dengan
bintang lima, pangkat yang hanya dimiliki oleh beberapa jenderal di RI
sampai sekarang.
Pustaka :
1. Doorstoot Naar Djokja. Julius Pour. Kompas. Desember 2009.2. Politik Militer Indonesia. Ulf Sindhaussen. LP3ES. 1986.
3. Revoloesi Pemoeda. Ben Anderson. Sinar Harapan. 1988.
4. Sejarah Kecil Indonesia. Rosihan Anwar. Kompas. 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar